Jurnal Pembagian Akad Dalam Fiqh Muamalah (Mu’awadhah, Tijarah, Tabarru’) Prinsip-Prinsip dan Teori Kontrak Syariah
Assalamu'alaikum :) .. akhir-akhir ini lagi banyak tugas ;( Salah satunya Jurnal. Nah, kali ini saya mau bagi contoh jurnal fiqh yang baru-baru ini saya buat. Tapi jurnal ini masih belum terlalu bagus karena masih belajar, hehe. Mohon maaf ya bila ada kesalahan, semoga contoh jurnal dibawah ini bisa bermanfaat dalam membantu teman-teman semuanya.. jangan lupa like dan comment ya.. Wassalamm
Pembagian Akad Dalam Fiqh Muamalah (Mu’awadhah, Tijarah, Tabarru’)
Prinsip-Prinsip dan Teori Kontrak Syariah
Maulidar Agustina (1401104010024)
Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala
Maulidaragustina.ma@gmail.com
Abstrak
Jurnal ini membahas tentang konsep dan prinsip-prinsip akad dalam
transakasi syariah. Perbedaan antara akad tabarru’, muawadhah dan tijarah juga
dijelaskan secara rinci disini. Permasalahan yang terjadi di masyarakat adalah
mereka belum memahami dengan baik bagaimana perbedaan akad-akad yang dapat
diklasifikasikan kedalam akad tabarru’ atau tijarah. Karena pada prinsipnya
akad tabarru’ tidak boleh diubah menjadi akad tijarah, sedangkan akad tijarah
boleh berubah menjadi akad tabarru’. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, diharapkan setelah membaca jurnal ini para
pembaca dapat membedakan akad-akad yang ada dalam lembaga keuangan syariah
terutama bank syariah. Dalam penulisannya, jurnal ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari kuisioner online, sedangkan data sekunder diperoleh dari
tinjauan pustaka dengan pendekatan studi analisis. Dari data primer di peroleh
beberapa masalah dari masyarakat. Secara terori dari data sekunder, akad
tabarru’ dan akad tijarah sudah sangat jelas dibedakan. Dimana akad tabarru’
adalah akad kebaikan yang digunakan untuk saling tolong menolong sedangkan akad
tijarah adalah akad komersial yang digunakan untuk memperoleh keuntungan.
Kata Kunci : Akad, Tabarru’,
Muawadhah, Tijarah
Pendahuluan
Ajaran agama islam yang bersumber pada Wahyu
Ilahi dan sunnaturasul mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapatkan
kehidupan yang baik di dunia yang sekaligus memperoleh kehidupan yang baik di
akhirat. Memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat inilah yang
dapat menjamin dicapainya kesejahteraan hidup lahir dan batin.[1]
Kesejahteraan hidup lahir dan batin ini bisa dicapai melalui ibadah dan
muamalah. Dalam hal ini kita akan membahas bidang muamalah saja.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, Fiqh Muamalah
adalah peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Dengan kata lain, Fiqh
muamalah merupakan segala peraturan yang diciptakan Allah swt. untuk mengatur tata kehidupan hubungan
antara manusia dengan manusia lain. Dalam
konteks masalah muamalah selalu berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan
sehari-hari. Pembahasan muamalah terutama dalam masalah ekonomi tentunya akan
sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad. Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima).
Semua perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh
menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada
kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan
dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.
Akad merupkan peristiwa hukum antara dua pihak
yang berisi ijab dan kabul, secara sah menurut syara’ dan menimbulkan akibat
hukum. Jika kita kaitkan dengan sebuah desain kontrak maka kita akan mencoba
mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan dikarenakan akad merupakan dasar sebuah
instrumen dalam lembaga tersebut, terutama di Lembaga Keuangan Syariah akad
menjadi hal yang terpenting dimana terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu
dilakukan di dalam islam. Akad yang ada dalam LKS sangat beragam, ada yang
merupakan dana kebajikan (tabarru’) dan ada juga akad yang dijadikan dasar
sebuah instrumen untuk transakasi yang tujuannya memperoleh keuntungan
(tijarah).
Metode Penelitian
Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari
kuisioner online, sedangkan data sekunder diperoleh dari tinjauan pustaka dengan
pendekatan studi analisis.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil dari data sekunder dari tinjauan pustaka dapat
diperoleh hal-hal berikut ini :
Teori Akad (Transaksi) Syariah
Definisi Akad
1. Mengikat ( الربط ),
yaitu :
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian
keduanya menjadi sebagai
sepotong benda."
2. Sambungan ( عقدة),
yaitu :
"Sambungan yang memegang kedua
ujung itu dan mengikatnya."
3. Janji ( الهد )
sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Ali Imran :76 artinya:
“ Ya, siapa saja menepati janjinya dan taku kepada Allah, Maka
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”
Istilah ‘ahdu dalam Al Qur’an mengacu kepada
pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau untuk tidak
mengerjakan sesuatu
dan tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat
seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak,
tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut, seperti yang
dijelaskan dalam Q.S Ali Imran :76 bahwa janji tetap mengikat orang yang
membuatnya.
Perkataan 'aqdu mengacu
terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu
bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang
menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka
terjadilah perikatan dua buah janji ('ahdu) dari
dua orang yang mempunyai hubungan antara
yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘Aqad).
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa ‘Aqad
mempunyai mencakup tiga tahap, yaitu : perjanjian (‘ahdu),
persetujuan dua buah perjanjian atau lebih dan perikatan
Menurut istilah (terminologi), yang dimaksud
dengan akad adalah: Perikatan ijab dan qabul
yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak."[2]
C. Rukun-rukun '‘Aqad
Rukun-rukun akad ialah sebagai berikut :
1. 'Aqid, yaitu
orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari
beberapa orang.
2. Ma'qud ‘alaih, yaitu
benda-benda yang diakadkan.
3. Maudhu' al 'aqd, yaitu
tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
4. Shighat al 'aqd, yaitu
ijab dan qabul.[3]
Hal hal yang harus diperhatikan dalam shighat
al-'Aqd ialah:
1. Shighat al-'aqd harus
jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab qabul
harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
2. Harus bersesuaian
antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima
berbeda lafazh.
3. Menggambarkan
kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan
tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena harus saling
ridha.
D. Syarat-syarat ‘Aqad
Setiap pembentuk ‘aqad atau akad
mempunyai syarat yang ditentukan syara' yang wajib disempurnakan, syarat syarat
terjadinya akad ada dua macam.
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat
syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu
syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini
bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping
syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam
berbagai macam akad yaitu sbb :
1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak
(ahli).
2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima
hukumnya.
3. Akad itu diizinkan oleh syara', dilakukan oleh
orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki
barang.
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh
syara', seperti jual beli mulasamah.
5. Akad dapat memberikan faidah
6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut
sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya
sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila
seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.[4]
Akad Tabarru’, Mu’awadhah dan Tijarah
A.
Akad Tabarru’
Akad tabarru’ (gratuitious contract)
adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for profit transaction
(transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk
mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong
menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam
bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Kita dapat melihat dalam Al-qur’an, Hadist
dan kaidah fiqh yang menjadi dasar huku akad tabarru’, dimana akad tabarru’ini
memiliki prinsip sosial yaitu menolong sesama.
Dasar Hukum Akad Tabarru’
1.
Al-Qur’an
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah
amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2).
2. Hadits
“Barang siapa melepaskan dari
seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan
darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia
(suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
3. Kaidah Fiqh
“Segala mudharat harus dihindarkan
sedapat mungkin.”[5]
Berdasarkan dasar hukum di atas maka
jelaslah dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apa pun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’
adalah dari Allah Swt., bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat
kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi
biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut. Namun ia tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’
tersebut. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah,
kafalah, wadiah, hibah, waqf, shadaqah, dan hadiah.[6]
Pada dasarnya dalam akad tabarru’ ada dua hal yaitu
memberikan sesuatu atau meminjamkan sesuatu baik objek pinjamannya berupa uang
atau jasa.
1.
Dalam bentuk meminjamkan uang
Ada tiga jenis akad dalam bentuk meminjamkan uang yakni :
a. Qard, merupakan pinjaman
yang diberikan tanpa adanya syarat apapun dengan adanya batas jangka waktu
untuk mengembalikan pinjaman uang tersebut.
b. Rahn adalah menahan salah
satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya
c. Hiwalah, merupakan bentuk
pemberian pinjaman uang yang bertujuan mengambil alih piutang dari pihak lain
atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan
seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya
kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk
menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.
2.
Dalam bentuk meminjamkan Jasa
Ada tiga jenis akad dalam meminjamkan jasa yakni :
a. Wakalah, merupakan akad
pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan
suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa. Dapat dilakukan dengan cara kita melakukan sesuatu
baik itu bentuknya jasa , keahlian, ketrampilan atau lainya yang kita lakukan
atas nama orang lain.
b. Wadi’ah, dapat dilakukan dengan
cara kita memberikan sebuah jasa untuk sebuah penitipan atau pemeliharaan yang
kita lakukan sebagai ganti orang lain yang mempunyai tanggungan. Wadi’ah adalah
akad penitipan barang atau jasa antara pihak yang mempunyai barang atau uang
dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang tersebut. Pembagian wadi’ah sebagai
berikut :
a. Wadi’ah Yad Al-Amanah
Akad Wadiah dimana
barang yang dititipkan tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan dan
penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang
titipan selama si penerima titipan tidak lalai.
b. Wadi’ah Yad Ad-Dhamanah
Akad Wadiah dimana
barang atau uang yang dititipkan dapat dipergunakan oleh penerima titipan
dengan atau tanpa ijin pemilik barang. dari hasil penggunaan barang atau uang
ini si pemilik dapat diberikan kelebihan keuntungan dalam bentuk bonus dimana
pemberiannya tidak mengikat dan tidak diperjanjikan.
c. Kafalah, merupakan akad
pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi
jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak
penerima jaminan.
3.
Memberikan Sesuatu
Yang termasuk ke dalam bentuk akad memberikan sesuatu
adalah akad-akad : hibah, wakaf, shadaqah, hadiah, dll. Dalam semua akad-akad
tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya
untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya
dinamakan wakaf. Objek wakaf ini tidak boleh diperjual belikan begitu
sebagai aset wakaf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara
sukarela kepada orang lain.
Ketika akad tabarru’ telah disepakati maka tidak boleh
dirubah menjadi akad tijarah yang tujuannya mendapatkan keuntungan, kecuali
atas persetujuan antar kedua belah pihak yang berakad. Akan tetapi lain halnya
dengan akad tijarah yang sudah disepakati, akad ini boleh diubah kedalam akad
tabarru bila pihak yang tertahan haknya merelakan haknya, sehingga menggugurkan
kewajiban yang belum melaksanakan kewajibannya.
Adapun fungsi dari akad tabarru’ ini selain orientasi
akad ini bertujuan mencari keuntungan akhirat,bukan untuk keperluan komersil.
Akan tetapi dalam perkembangannya akad ini sering berkaitan dengan kegiatan transaksi
komersil, karena akad tabarru’ ini bisa berfungsi sebagai perantara yang
menjembatani dan memperlancar akad tijarah.
Skema Akad Tabarru'
B.
Akad Mu’awadhah Dan Akad Tijarah
Pengertian Akad Mu’awadhah
Secara bahasa, Mu’awadhah berasal dari
kata ‘awadha dalam bahasa arab yang artinya tukar-menukar, mengganti kerugian,
membalas jasa, menebus dan memberi kompensasi.
Mu’awadhah adalah akad yang dilakukan
karena adanya motif bisnis seperti jual beli, sewa atau lainnya sehingga cara
yang ditempuh dapat berupa pertukaran harta dengan uang atau uang dengan jasa
(sewa benda atau upah untuk tenaga). Atau Akad muawadhah yaitu
akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli,
sewa-menyewa, shulh, terhadap harta dengan harta.
Pengertian
Akad Tijarah
Secara bahasa, Tijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya
perdagangan, perniagaan, dan bisnis.
Tijarah adalah akad
perdagangan yaitu mempertukarkan harta dengan harta menurut cara yang telah
ditentukan dan bermanfaat serta dibolehkan oleh syariah. Semua bentuk akad yang
ditujukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan. Atau Akad tijarah adalah semua bentuk akad
yang dilakukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk
memperoleh keuntungan.
Akad Mu’awadah dan Akad Tijarah memiliki sedikit perbedaan dari
segi pengertian secara bahasa, namun keduanya memiliki persamaan pada prinsip
dan tujuan yaitu untuk mencari keuntungan ( for profit transaction). Akad-akad
ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad
tijarah dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni :
1.
Natural Certainty Contracts (NCC)
Dalam
NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan aset
yang
dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) harus
ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya
(quality), harganya (price) dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi,
kontrak-kontrak ini secara sunnatullah (by their nature) menawarkan return yang
tetap dan pasti. Yang termasuk kedalam kategori ini adalah kontrak-kontrak yang
berbasis jual beli, upah-mengupah, dan sewa-menyewa, yaitu :
a.
Akad
jual beli (al-Ba’i, Salam, dan istishna’)
b.
Akad
sewa-menyewa (ijarah dan IMBT)
Dalam akad-akad
diatas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real
assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tetap berdiri sendiri
(tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan
risiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dan dengan aset si B. Yang
ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B
menyerahkan uang kepada A. Di sini barang ditukarkan dengan uang, sehingga
terjadilah kontrak jual beli (al-ba’i)
2.
Natural Uncertainty Contract (NUC)
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu
kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan
keuntungan. Percampuran yang
dimaksud dalam teori ini adalah mencampurkan atau menggabungkan aset menjadi
satu kesatuan, selanjutnya kedua belah pihak terkait akan menanggung resiko
dari kegiatan usaha yang dilakukan bersama tersebut dan membagi keuntungan atau
laba sesuai kesepakatan bersama. Berdasarkan teori percampuran ini, akad atau
perjanjian yang biasa digunakan bertujuan untuk investasi sehingga dalam hal
ini tidak memberikan kepastian imbalan (return) di awal. Konsep dalam
berinvestasi yaitu bahwa tingkat return yang diperoleh dapat bersifat
positif (untung), negatif (rugi), atau nol (balik modal).[7]
Di sini, keutungan
dan kerugian ditanggung bersama. Karena itu, kontrak ini tidak memberikan
kepastian pendapatan (return), baik dari segi
jumlah (amount), maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini
adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara sunnatullah (by
their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak
fixed and predetermined.
Contoh-contoh
NUC adalah sebagai-berikut :
a.
Musyarakah
( wujuh, ‘inan, abdan, muwafadhah, mudharabah).
b.
Muzara’ah
c.
Musaqah
d.
Mukhabarah
Prinsip-Prinsip Kontrak Syariah
Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1. Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak
boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian oranglain. Prinsip ini didasarkan
atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling
menolong (ta’awun), saaling menjamin (takaful), saling besinergi dan saling
berafiliasi (tahaluf).
2. Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang
berhak dan sesuai dengan realitas prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah
adalah melarang adannya unsur:
a.
Riba/bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl, Riba
sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan
dalam transaksi barang, termasuk penukaran yang sejenis secara tunai maupun
tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.
b.
Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan.
Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan
temponnya mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak
sesuai tempatnnya/posisinya.
c.
Maisir/ judi atau bersikap spekulatif dan tidak berhubungan dengan
produktivitasnnya.
d.
Ghahar/unsur ketidakjelasan, manipulsidan eksploitasi informasi serta tidak
adannya kepastian pelaksanaan akad, seperti: ketidakpastian penyerahan objek
aqad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti isi perjanjian.
e.
Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-qur’an dan As-sunah, baik
dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
3. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritual, serta individual dan
kelektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur yaitu: halal (patuh terhadap
ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan
spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor
rill, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta
pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik
semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan
manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5. Universalisme (syumuliah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan
dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras,
dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan li alamin).
6. Kerelaan,
rida sama rida (al-Ridhâ). Berdasarkan asas ini maka semua bentuk akad
yang dibuat harus dilakukan karena kerelaan diri, bukan karena keterpaksaan
atau dipaksa. Karena kerelaan antar pihak yang berakad termasuk prasyarat bagi
terwujudnya semua transaksi. Dengan demikian bila asas ini tidak terpenuhi,
maka akad dapat dianggap batal atau tidak sah, dan bila keadaan itu tetap
dilangsungkan maka sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara yang batil (al-akl
bi al-bâthil). Singkatnya, asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dari
pihak manapun dalam proses transaksi.
7. Persamaan
atau kesetaraan (al-musâwah). Asas ini memberikan landasan bahwa
kedua belah pihak yang sedang melakukan suatu akad perjanjian mempunyai
kedudukan yang sama dan setara. Sehingga, pada saat menentukan hak dan
kewajiban masing-masing didasarkan pada asas almusâwah ini.[8]
Berdasarkan hasil data primer dari survey quisioner online maka
dapat dilihat dan dianalisis hal-hal berikut ini :
Tujuan di lakukan survey ini adalah untuk melihat pemahaman masyarakat
tentang akad-akad yanga ada di perbankan syariah baik akad tabarru’ maupun akad
tijarah.
Survey melalui quisioner ini di isi oleh 22 responden yang 54,5% nya
berusia ≤ 20 tahun sedangkan 45,5 % di
isi oleh mereka yang berumur 21-30 tahun.
Dari 22 responden 63,6 %
merupakan penabung/pengguna jasa bank syariah sedangkan 36,4 % bukan
penabung/pengguna jasa bank syariah.
Ketika diberikan statement kepada 22 responden tentang akad
tabarru’ memiliki prinsip tolong menolong dan akad tijarah memiliki prinsip
mencari keuntungan dan ditanyakan kepada mereka apakah pernah mendengar hal ini
sebelumnya? Sebanyak 86,4 % mengak pernah mendengar dan 13,6 % sisanya tidak.
Meskipun sebagian besar dari responden pernah mendengar tentang
akad tabarru dan akad tijarah, tetapi dari hasil survey ini terdapat hal yang
sangat mengejutkan ketika mereka disuruh untuk mengelompokkan akad-akad yang
diberikan kedalam akad tabarru’ atau tijarah, yang mana hasilnya hanya sebagian
kecil saja yang mampu mengelompokkan semuanya dengan tepat. Salah satu contoh
kesalahan yang dilakukan oleh responden saat mengelompokkan akad-akad dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :
Seharusnya akad mudharabah, murabahah, dan salam di kelompokkan ke
dalam akad tijarah bukan malah sebaliknya. Perlu di ingat bahwa akad tabarru’
tidak boleh di ubah menjadi akad tijarah, karena hukumnya adalah haram.
Sedangkan akad tijarah di benarkan jika pihak yang berakad ingin mengubahnya
menjadi akad tabarru’.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat masih
belum semuanya mengetahui apa sebenarnya akad, prinsip akad, dan pembagian
akad.
Dalam tinjauan pustaka disebutkan bahwa akad adalah perikatan ijab dan qabul
yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
Dalam pembagian akad dikenal adanya akad tabarru’, muawadhah dan tijarah. Akad tabarru’ (gratuitious contract) adalah segala macam perjanjian
yang menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba). Mu’awadhah
adalah akad yang dilakukan karena adanya motif bisnis seperti jual beli, sewa
atau lainnya sehingga cara yang ditempuh dapat berupa pertukaran harta dengan
uang atau uang dengan jasa (sewa benda atau upah untuk tenaga). Sedangkan tijarah adalah
akad perdagangan yaitu mempertukarkan harta dengan harta menurut cara yang
telah ditentukan dan bermanfaat serta dibolehkan oleh syariah. Semua bentuk
akad yang ditujukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk
memperoleh keuntungan.
Dalam melakukan kontrak syariah harus berdasarkan beberapa
prinsip-prinsip yaitu persaudaraan (ukhuwah), keadilan (‘adalah), kemashlahatan (mashlahah),
keseimbangan (tawazun), dan universalisme (syumuliah).
Berdasarkan teori, memang akad-akad ini sudah sempurna. Akan tetapi secara
praktiknya belum dijalankan dengan sempurna. Terlebih, perbankan syariah juga
belum memberikan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat tentang apa
saja akad-akad yang mereka miliki.
Saran
Diharapkan semua lapisan masyarakat bisa memahami prinsip-prinsip kontak
syariah dan bisa membedakan antara akad tabarru’ dengan akad tijarah agar tidak
terjadi kesalahan.
Selama ini ekonomi islam baru saja buming di indonesia tentunya pola pikir
dan pengetahuan tentang perbankan Islam masih terlalu minim diketahui. Oleh
karnanya pihak bank harus melakukan sosialisasi untuk memberi pengetahuan yang
mendalam tetunya agar masyarakat yang tadinya masih memahami perbankan
konvensional sekarang dapat mengubah pemikiran masyarakat dalam menggunakan
seluruh akad dengan baik dan benar untuk kedepannya.
Daftar Pustaka
Abdurrauf. Jurnal
yang berjudul : Penerapan Teori akad pada perbankan syariah.
A.Karim, Adiwarman.
2013. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada.
Ashfia, Tazkia, dkk. Jurnal yang berjudul : Analisis Pengaturan
Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah Pada Asuransi Syariah Menurut
Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 53/DSN-MUI/III/2006, tentang Tabarru’ pada
Asuransi Syari’ah
Suhendi, Hendi. 2008.
Fiqh Muamalah. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat.
2001. Fiqh Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
Wirdyaningsih, dkk.
2005. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana.
[1] Widyaningsih,
dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm.3-4.
[2] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafiondo Persada, Jakarta, 2008, hlm.46
[3] Rachmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah, Cv Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.45
[4] Hendi
Suhendi, ibid, hlm.50
[5]
Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 53/DSN-MUI/III/2006, tentang
Tabarru’ pada
Asuransi Syari’ah
[6] Adiwarman
A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013, hlm.66
[7] Ashfia, Tazkia,
dkk. Jurnal yang berjudul : Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah
Pada Asuransi Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah, hlm.4.
[8] Abdurrauf. Jurnal yang berjudul :
Penerapan Teori akad pada perbankan syariah, hlm.13
Comments
Post a Comment